Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by PRChecker.info service

Selamat Datang



Minggu, 17 Januari 2016

Teori Uses and Gratifications II Ilmu Komunikasi

USES AND GRATIFICATION
(KOMUNIKASI MASSA)


BAB  I
PENDAHULUAN

1.1.            LATAR BELAKANG
Uses and Gratifications adalah sekelompok orang atau orang itu sendiri dianggap aktif dan selektif menggunakan media sebagai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Studi didalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan kepuasan (Gratifications) atas kebutuhan seseorang. Oleh karena itu, sebagian besar prilaku orang tersebut akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan dan kepentingan individu.
Pendapat lain mengenai definisi  Uses and Gratifications adalah Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan yang dalam Bahasa Inggrisnya Uses and Gratification Theory adalah salah satu teori komunikasi (massa) dimana titik berat penelitian dilakukan pada pemirsa atau khalayak sebagai penentu pemilihan pesan dan media.[1]
Uses and Gratification Theory yang merupakan salah satu dari teori komunikasi massa melihat audiens dari proses komunikasi massa sebagai individu yang aktif, selektif dan memiliki tujuan tertentu terkait dengan terpaan media kepadanya. Artinya individu atau audiens (khalayak) sebagai makhluk sosial mempunyai sifat selektif dalam menerima pesan yang ada dalam media massa.
Uses and Gratifications meneliti asal mula kebutuhan manusia  secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan  harapan tertentu dari media masa atau sumber-sumber lain (atau keterlibatan pada kegiatan lain) dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan penelitian yang menggunakan Uses and Gratifications model memusatkan perhatian pada kegunaan isi media untuk memperoleh gratifikasi atau pemenuhan kebutuhan. Mc quail (1995) mengatakan ada dua hal utama yang mendorong munculnya pendekatan penggunaan ini. Pertama, ada oposisi terhadap pandangan deterministis tentang efek media. Sikap ini merupakan bagian dari “penemuan kembali manusia” yang terutama terjadi pada sosiolog di amerika. Kedua, ada keinginan untuk lepas dari debat yang berkepanjangan tentang selera media masa. Dalam persoalan ini pendekatan Uses and Gratifications model menyajikan alternatif lain dalam memandang hubungan antara isi media dengan komunikan, dan dalam pengkategorian isi media menurut fungsi. [2]
1.2.            PERUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan Uses and Gratification?
2.      Uses and Gratification menurut Elihu Katz, Jay G. Blumbler, dan Michael Gurevitch?

1.3. TUJUAN
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Uses and Gratifications?
2.      Untuk mengetahui Uses and Gratification menurut Elihu Katz, Jay G. Blumbler, dan Michael Gurevitch?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian
Uses and Gratification atau penggunaan dan Pemenuhan (kepuasan) merupakan pengembangan dari teori atau  model jarum  hipordemik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan oleh media pada diri seseorang, tetapi ia tertarik dengan apa yang dilakukan orang terhadap media. Khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya.[3]
Uses and Gtaifications menunjukan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku  khalayak, tetapi bagaiman media memenuhi kebutuhan pribadi  dan sosial khalayak.  khalayak  dianggap secara aktif dengan sengaja menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mempuyai tujuan. Studi dalam bidang memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) isi media untuk mendapat kepuasan (Gratications) atas pemenuhan kebutuhan seseorang dan dari situlah timbul istilah Uses Gtarifications. Sebagian besar prilaku khalayak akan dijelaskan  melalui berbagai kebutuhan dan kepetingan individu. Dengan demikian, kebutuhan individu merupakan titik awal kemunculan teori ini.[4]
Uses and Gtaification pada awalnya muncul ditahun 1940  samapai 1950 para pakar melakukan penelitian  mengapa khalayak terlibat berbagai jenis perilaku komunikasi. Lalu  mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Para teoritis pendukung Teori Uses and Gtaification berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Dengan demikian kebutuhan individu merupakan titik awal kemunculan teori ini..
Teori use and gratificaion ini adalah kebalikan dari teori peluru atau jarum hipodemik. dalam teori peluru media itu sangant aktif dalam all powerfull berada  audience. sementara berada dipihak pasif. Sementara dalam teori aktif  use and gartification ditekanka bahwa audience itu aktif untuk memillih mana media yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya. [5]

2.      Uses and Gratification Menurut Katz, dan Blumer
Pada tahun 1974 teori ini dikemukakan lagi oleh Herbert Blumer dan elihu Katz, yang dikenalkan dalam bukunya yang berjudul The Use of Mass Comunication:Current Prespectives on gratificaton.Teori use and gratification milk blumer dan Katz ini mengatakan bahwa penggunaan media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain penggunaan media tersebut adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Artinya teori use and gratification mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan untuk memuaskan kebutuhannya.[6]
Sementara itu, Katz, Gurevitch dan haan mengatakan yang dikutip oleh Onong Uchjana menjelaskan bahwa kebutuhan manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial, afiliasi kelompok, dan ciri-ciri kepribadian sehingga terciptalah kebutuhan manusia yang berkaitan dengan media meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif, kepribadian secara integratif, kebutuhan sosial secara integratif dan kebutuhan pelepasan ketegangan. [7]
Kebutuhan Khalayak adalah sebagai berikut:
a.       Kebutuhan kognitif yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi mengenai pemahaman dan lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan dengan hasrat untuk memahami dan menguasai lingkungan dan memuaskan rasa keingintahuan kita.
b.      Kebutuhan afektif yaitu berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estis menyenangkan emosidional. Kebutuhan ini mengacu pada kegiatan atau segala sesuatu yang berkaitan dari segi prilaku yang menyenangkan.
c.       Kebutuhan pribadi secara integratif yaitu kebutuhan ini berkaitan dengan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individual yang diperoleh dari hasrat dan harga diri.
d.      Kebutuhan sosial secara integratif yaitu berkaitan dengan peneguhan kontak bersama keluarga, teman dan dunia. Hal tersebut didasarkan pada hasrat berealisasi bekaitan.
e.       Kebutuhan pelepasan ketegangan yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, tegangan dan hasrat akan keanekaragaman. 
Dalam keaktifan khalayak dalam kehidupannya        sehari-hari, terlihat mereka membutuhkan sesuatu yang dapat memenuhi  kebutuhan mereka yakni melalui penggunaan media seperti membaca surat kabar yang mereka sukai, menonton acara televis, atau mendengarkan musik favoritnya, dll.[8]
Menurut Katz dan Gurevitch  (1974, dalam Fiske, 2007:213-214) beberapa asumsi mendasar dari uses and gratifications adalah sebagai berikut:
1.      Khalayak  dianggap  aktif. Khalayak bukanlah penerima yang pasif atas apa pun yang Cmedia siarkan. Khalayak memilih dan  menggunakan isi program.
2.      Dalam proses komunikasi massa, Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan program-programnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya.
3.      Media massa harus besaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media lebih luas.
4.      Tujuan media masa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak artinya, orang yang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi tertentu
5.      Pertimbangan nilai tentang signifikansi kultural dari media massa harus dicegah. Semisal, tidaklah relevan untuk menyatakan program-program infotainment itu sampah, bila ternyata ditonton oleh sekian juta penonton. [9]
Sebagaimana dikutip McQuail telah menunjukkan pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan. Program TV yang sama bisa jadi berbeda saat harus kepuasan pada kebutuhan yang berbeda untuk individu yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda diasosiasikan dengan kepribadian seseorang, tahap-tahap kedewasaannya, latar belakang, dan peranan sosialnya. Sebagai contoh anak-anak secara khusus lebih menyukai untuk menonton TV untuk mencari informasi dan disaat yang sama lebih mudah dipengaruhi.[10]
Contoh Studi Kasus
Teori uses and gratification mengatakan bahwa individu lebih aktif dalam mencari apa yang diinginkan  dalam media sehingga tercapai kepuassan yang diinginkan tersebut contoh kasus yang pernah gencar diperbincangkan di media, seperti grasi yang diberikan presiden terhadap terpidana kasus narkotika warga Negara asing yang bernama Schapelle Corby. Media massa di negeri ini tengah gencar-gencarnya memperbincangkannya, dan bahkan di salah satu stasiun televisi di negeri ini mengundang berbagai tokoh dan pakar hukum untuk membahasnya. Dalam kasus ini, presiden seakan tersudutkan dengan keputusannya memberikan grasi tersebut. Terpaan media yang dipertontonkan ke publik baru-baru ini mengenai keputusan grasi tersebut. Terlepas dari kasus tersebut, tentunya individu sebagai penerima pesan dari media massa akan mencari informasi tentang kasus tersebut. Sehingga individu tersebut bisa memutuskan sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
Selain itu contoh yang lain yaitu acara musik, kita ambil kebutuhan dan kepuasan penonton salah satunya dengan menonton acara musik Dahsyat yang sebagian besar disukai oleh kaum wanita khususnya ibu-ibu rumah tangga. Para kaum wanita khususnya remaja  lebih ingin menonton atau mencari kepuasan dengan musik terupdate melewati tayangan acara musik DAHSYAT di RCTI ketimbang melalui acara lain yang lebih dominan mengikuti acara DAHSYAT tersebut,  selain itu para pembawa acara DAHSYAT humoris  yang membuat pikiran kembali segar setelah melihat acara tesebut. Dari contoh tersebut bisa kita lihat kebutuhan masyarakat dalam mengkonsumsi media menurut teori usus and gratification. teori usus and gratification.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


         Uses and Gratifictions (kegunaan dan kepuasan) adalah sekelompok orang atau orang itu sendiri dianggap aktif menggunakan media sebagai cara untuk memenuhi kebutuhannya.
         Menurut Wikipedia Uses and Gratifications adalah salah satu teori komunikasi (massa) dimana titik berat penelitian dilakukan pada pemirsa atau khalayak sebagai penentu pemilihan pesan dan media.
         Teori Uses and Gratifications dikemukakan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumbler, dan Michael Gurevitch (Griffin, 2003) yang menyatakan bahwa pengguna media memainkan peran yang aktif dalam memilih dan menggunakan media. Pengguna media menjadi bagian yang aktif dalam proses komunikasi yang terjadi serta berorientasi pada tujuannya dalam media yang digunakannya.
         Kebutuhan khalayak yang berkaitan dengan media yaitu meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif, kepribadian secara integratif, kebutuhan sosial secara integratif dan kebutuhan pelepasan ketegangan
















Kamis, 14 Januari 2016

contoh makalah sosiologi politik citra dan hiperealita

MAKALAH
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
[ DIMENSI HIPEREALITAS DAN POLITIK CITRA ]

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Nampaknya  kita semua sama sekali belum menyadari dimensi hiperialitas serta politik citra yang kerap kali diagung-agungkan media massa saat ini. Bagaimana tidak, hal ini merupakan suatu dimensi kehidupan yang masuk dalam tatanan masyarakat pada umumnya secara radikal. Kita perlu menyadari bahwa media massa memiliki dimensi hiperialitas serta politik citra yang dibangun dalam setiap kemasan-kemasan yang disajikan
Dalam makalah yang berjudul “Dimensi Hiperialitas dan Politik Citra” ini akan membahas bagaimana dimensi hiperialitas serta politik citra yang dibangun oleh media sehingga bisa merasuk dalam relung-relung kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan hiperialitas adalah realitas semu yang dimana kebenarannya tidak dapat dibuktikan, hal ini akan bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Hiperialitas juga merupakan hasil dari permasalahan yang sudah dikonstruksikan sebelumnya.
Begitu pula dengan politik citra, dimana politik citra merupakan suatu keadaan yang di buat oleh suatu kelompok atau organisasi tertentu dengan tujuan untuk menyebar luaskan segala hal untuk diperlihatkan kepada khalayak dengan tujuan untuk membangun brand atau nama baik suatu kelompok. Politik citra kerap kali dilakukan oleh partai-partai politik dengan tujuan untuk menarik peratian publik. Hal ini tidak jarang kita temui dalam iklan-iklan yang ditayangkan oleh media massa.
Dalam penyajiannyapun politik citra yang dibangun adalah hal-hal positif. Hal ini akan semakin sering dilakukan oleh golongan tertentu dengan kepentingan tersendiri. Politik citra berusaha untuk menarik perhatian public dengan berbagai cara, sehingga dapat kita saksiakan banyak janji-janji yang di tawarkan segai visi dan misinya.
Namun hal ini tidaklah dapat dibuktikan secara mutlak. Adapun pembahasan dalam materi ini tidak hanya membahas tentang hiperialitas dan politik citra saja, akan tetapi juga membahas tentang simulacra dalam media menurut Jhon Boudrilard serta pembahasan tentang politik imagology. Dalam pembutan makalah ini tori-teori diambil dari pemikir modernism seperti rentetan pemikir Kalr Max.perlu kita ketahui juga bahwasanya Jhon Boudrlard merupakan salah satu pemikir aliran postmodern. Ia juga dikenal sebagai pemikir yang kritis, serta banyak menghasilkan karya-karya yang berinstrumen negative.
Semoga dengan kehadiran makalah ini kita semakin tersadarkan akan hiperialitas yang di bangun serta politik citra yang kerap kali sebagi hidangan dalam sajian media massa saat ini. Harapannya semoga kita semakin mnjadi orang yang kritis dalam setiap permasalahan yang disuguhkan oleh media mssa saat ini, terutama sajian kotak ajaib layar kaca.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Terbentuknya Hyperreallity
Hiperealita terbentuk dari suatu kondisi yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan kenyataan. Banyak fakta yang bersimpang siur kebenarnnya dengan hasil rekayasa. Sehingga bisa dikatakan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, isu dan realitas seakan-akan tidak berlaku lagi dalam dunia seperti itu.
Dalam hal ini Jhon Boudrilard dan Rolad Barthes memandang hiperealitas dalam media sebagai suatu realita yang semu, realitas yang ditampilkan dalam media adalah realitas yang sudah dikonstruksikan. Sehingga dalam kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dapat juga disaksikan bahwa setiap sajian berupa siaran yang disajikan dalam media massa pada umumnya merupakan hasil yang didramatisasi. Dimana itu semua dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis. Secara umum itu semua dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya, bukan lagi oleh pelaku utama yang memiliki cerita. Pada akhirnya hal inilah yang menjadi mustahil atau sulit untuk dibedakan dari kejadian nyata atau hanya sekedar tontonan belaka.
Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya yang dimana itu bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Serta terbentuknya pola pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepatsaji. Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat saat ini  mengkonsumsi segala sesuatu bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih tertarik dengan gaya hidupnya dan nilai yang mereka junjung tinggi.
Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder, sampai tersier. Ditemani oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan produk menjadi lebih gencar tambah lagi teknologi informasi yang memungkinkan pihak pengusaha untuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakat yang dihadapi, dan pihak konsumen mendapatkan informasi tentang kebutuhan yang mereka tidak butuhkan tetapi mereka inginkan.
Asumsi-asumsi yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.
2.1. Simulacra/Simulasi
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang pembentukan fakta melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal. Pada akhirnya disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality, dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas atau terkaburkan.
Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra), hal ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan sebagainya.
Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya era kebudayaan postmodern. Simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imaginer, yang benar dengan yang palsu.
Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”. Adapun kemunculan Simulacrum menurut Baudrillard, Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra (gambar, citra atau penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman). Manusia postmodern hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Nilai guna komoditas dan nilai imperatif sebuah produksi pun telah digantikan oleh model, kode, tontonan dan hiperrealisme “simulasi”. Komunikasi lewat media telah membuat orang terjebak dalam permainan simulacra yang tidak berhubungan dengan “realitas eksternal”. Kita hidup di dunia simulacra, dunia yang dipenuhi citra atau penanda suatu peristiwa dan telah menggantikan pengalaman nyata. Ya, kita hidup di dunia yang penuh dengan simulasi: tidak nyata, tidak asli, dan tidak dapat ditiru. Dunia tak lagi nyata, karena yang “yang ada “ hanyalah simulasi.
Baudrillard menguraikan bahwa pada jaman kini “masyarakat” sudah sirna dan digantikan oleh mass atau massa. Massa tidak mempunyai predikat, atribut, kualitas maupun reference . Pendeknya, massa tidak mempunyai realitas sosiologikal. (Baudrillard: 1978)
2.3 Syimbol/Semiotik
Dalam media Baudrillard menggambarkan dunia ini sebagai Hiperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih real dari realitas (Ritzer 2009 : 678 ). Hipperealitas adalah efek, keadaan atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut (Piliang, 2003 : 150). Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi dalam dunia hiperealitas tidak saja realitas yang hilang, tetapi juga dunia tak nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Hipperealitas adalah duplikat dari realitas yang didekodifikasikan ( Piliang, 2003 : 152). Teori Semiotika Media – Hiperealitas.
2.4 Politik Citra
Politik citra merupakan salah satu bentuk politik yang dilakukan oleh media untuk membangun image positip terhadap publik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan suatu pemahaman bahwa apa yang di bangun oleh media itu secara tidak langsung akan diterima dan menjadi sebuah pemahaman.
Dalam hal ini media memang berhasil membuat realitas baru yang selalu mengedepankan hal-hal yang sempurna yang membuai manusia. Sebagai contoh adalah masalah “kecantikan”. Media begitu apik membuat realitas tentang kecantikan, bahwa kecantikan itu adalah wanita dengan kulit putih, hidung mancung, alis rapih, dan sebagainya, sehingga setiap wanita yang ingin tampil cantik maka ia harus memiliki kulit putih, hidung mancung, dan sebagainya.
Hal ini pun terjadi pada diri lelaki tersebut dimana media berhasil menciptakan realitas dimana lelaki tersebut akan mendapatkan perempuan yang diinginkan yang ia tidak dapatkan di dunia nyata yang sesungguhnya. Oleh karena itu media berhasil menciptakan tanda-tanda sebagai realitas yang baru yang lebih baik dari realitas yang sesungguhnya.
2.5. Politik Imogology
Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)
Dari uraian tentang pemikiran Baudrillard diatas maka dapat diperoloeh kesimpulan sebagai berikut
1. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, didalamnya citra atau penanda atau kode atas suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Zaman simulasi adalah jaman informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes dan cybernetics.
2. Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu fungsi tanda (sign function) dalam linguistik. Iklan atau reklame telah mengambil-alih tanggungjawab moral masyarakat dan telah menggantikan moralitas puritan dengan moralitas hedonistik yang mengacu hanya kepada kesenangan saja dan menjadikannya sebagai barometer dari hypercivilization.
3. Secara ontologis, komunikasi (khususnya komunikasi massa) merupakan upaya untuk mempengaruhi masa untuk mengikuti ritual-ritual ekonomi konsumtif. Secara epistemologis, proses komunikasi merupakan simulacra. Secara aksiologis, komunikasi massa dimaksudkan agar masyarakat mengikuti irama kepentingan ekonomis-politis kapitalisme, sehingga hubungan masyarakat dicitrakan dalam budaya massa.Sosiologi komunikasi

PENUTUP

            Dari sekian penjelasan yang cukup banyak dan juga luas, dapat kami simpulkan secara umum bahwa dimensi hiperealitas dan juga politik citra ini adalah sebagai bentuk gambaran yang dibuat atau dihasilkan oleh sebuah media massa untuk menarik seseorang. Tak jarang sebuah media selalu saja menerapkan hipereality ini sebagai arahan kepada penonton media-nya untuk menirukan suatu gambaran tersebut. Pada dasarnya hal itu belum tentu keberannya namun seolah olah di tampilkan sisi kebenaranya. Sedangkan politik citra yaitu sama halnya membuat suatu pencitraan yang baik terhadap “brend” atau merek yang di unggulkan Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi karena didalamnya tersebut sangat erat kaitanya dengan politik. contoh yang kerap ditemui yaitu politik parpol dan juga iklan-iklan yang ada dimedia.
            Mungkin itu saja yang dapat kami jelaskan dalam makalah ini, dikarenakan keterbatasan wawasan kami dan juga pemahaman yang masih kurang. Namun hal itu tidak menyurutkan kami untuk selalu belajar dan belajar yang lebih baik lagi. Dan kami juga mohon maaf jika makalah kami ini masih banyak kekurangan, salah kalimat maupun salah ketik, kami tidak lepas dari kesalahan, maka dari itu untuk membangun yang lebih baik lagi kedepanya harapan kami kritik dan saran kami anjurkan demi perbaikan kami. Terimakasih.. 


Literasi Media

Hasil gambar untuk bismillahirohmannirohim

KOMUNIKASI MASSA
MELEK MEDIA DALAM PROGRAM ACARA TELEVISI

BAB I
PENDAHULUAN

       I.            LATAR BELAKANG

Dunia informasi terus menggeliat. Sampai saat ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan berjalan seiring dengan berkembangnya dunia pertelevisian sebagai media penyampain pesan. Televisi hadir dengan sifat yang audio-visual dan cinematography (pandang dengar dan gambar gerak).
            Peran media televisi sebagai media massa memiliki fungsi komunikasi massa yaitu berfungsi mendidik (to educate), fungsi memberikan informasi (to inform), menghibur (to entertain) termasuk fungsi mempengaruhi (to persuade).
            Jenis  media ini seperti televisi memiliki dampak indentifikasi optik yang tajam bagi pemirsa. Dengan kata lain, pemirsa seakan-akan berada ditempat peristiwa, yang ditayangkan di televisi. Pemirsa seolah-olah menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan hadir di tempat kejadian yang sebenarnya, padahal hanya merupakan berita yang disiarkan dari jarak yang sangat jauh.
            Proses indentifikasi optik akan berdampak pada identifikasi psikologis bagi pemirsa atau penonton. Pemirsa turut merasakan kejadian yang diberitakan oleh televisi atau yang dijadikan film berita (newsreels). Akibatnya, pemirsa bisa merasa sangat terharu, sedih atau gembira.
            Munculnya stasiun-stasiun televisi baik lokal maupun nasional membuktikan bahwa stasiun televisi semakin berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Seperti yang dituturkan Morissan dalam bukunya jurnalistik televisi muthakir bahwa, bagi banyak orang televisi adalah teman bahkan televisi menjadi cermin perilaku masyarakat dan televisi dapat menjadi candu. Dan karena kerlebihan-kelebihannya, televisi menjadi semakin kuat mempengaruhi khalayaknya. Serta tidak dapat dipungkiri bahwa, televisi telah menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan mesyarakat Indonesia.
            Masyarakat mengganggap bahwa televisi sudah menjadi bagian yang sudah melekat di masyarakat dan susah untuk di tinggalkan. Hampir setiap saat masyarakat selalu mengkonsumsi atau menikmati program acara dari televisi yang menyiarkan berita, informasi, dan juga hiburan. Namun walaupun kini televisi sudah di anggap menjadi kebutuhan dari masyarakat akan pentingnya informasi, disisi lain masyarakat belum  bisa melihat sisi positif  dan negative dari  setiap program acara yang disiarkan oleh televisi tersebut. Jadi ketika kita mengkonsumsi atau menikmati sebuah acara itu  sebaiknya tidak cuma sekedar menjadi pemirsa pasif saja namun juga harus dapat melihat faktor-faktor yang ditimbulkannya nanti. Artinya apakah nantinya acara itu baik atau tidak untuk ditayangkan hal itu tergantung dari masyarakatnya sendiri selaku pemirsa. Masyarakat harus bisa menilai, apakah hanya sekedar menjadi penonton pasif yang terus-terusan mengikuti acara dari medianya yang memberikan informasi dan masyarakat tanpa adanya komunikasi balik (feedback) atau menjadi masyarakat  yang aktif sehingga tidak selamanya yang diberikan oleh media televisi itu akan diterima saja namun juga sedikit mengkritisi bahkan memberikan (feedback) kepada medianya jika memang apa yang diberikan dari sebuah tayangan oleh televise itu tidak baik.
            Dalam hal ini masyarakat harus lebih peka lagi melihat media televisi, caranya yaitu dengan melek media (literasi media). Maksudnya masyarakat disini jika sedang melihat atau mendengarkan sebuah informasi dari media itu boleh saja menerimanya, namun ketika apa yang sudah diterimanya itu janganlah langsung diterima  tanpa adanya filter pesan. Sehingga seolah-olah masyarakat itu pasif karna hanya dapat menerima informasi tanpa bisa melakukan feedback lagi pada televisinya.
Contohnya ketika masyarakat dihadapkan dengan beberapa program acara televise, kemudian masyarakat melihat di dalam setiap program acara tersebut memiliki kepentingan masing-masing. Yaitu acara berita dan juga ada hiburan. Acara tersebut sama pentingnya buat kita konsumsi, pertama acara berita memang sangat penting sekali buat menambah informasi pengetahuan kita namun disisi lain dalam sebuah acara berita itu tidak lepas dari agenda seting media televisinya. Mulai dari isi berita yang awalnya tidak penting kemudian berita itu di anggkat seolah-olah berita itu menjadi penting, lalu peran masyarakat yang harus dijalankan seperti apa, yaitu dapat memilih ataupun menilai apakah berita itu penting buat dirinya ataupun tidak, jika memang penting berita itu boleh dikonsumsi namun bilamana berita itu tidak penting lebih baik ditinggalkan saja. Apalagi hanya acara sinetron dan hiburan yang penuh settingan itu memang kita butuhkan buat diri kita namun lebih banyak lagi yang seharusnya dapat kita peroleh dari acara televisi yang lebih bermanfaat lagi.
            Jadi dalam pembahasan makalah nanti kita akan mempelajari lebih lanjut mengenai televisi dan literasi media dalam masyarakat dan masih banyak lagi untuk kita kaji bersama demi menambah ilmu pengetahuan kita.ilmukomunikasi
   
BAB II
KERANGKA TEORI

Sejarah dan Perkembangan Televisi
Media audio visual televisi muncul karena perkembangan teknologi. Kehadirannya setelah beberapa penemuan seperti telepon, telegraf, fotografi, serta rekaman suara. Media televisi ada setelah radio dan media cetak. Dalam penemuan televisi terdapat banyak pihak penemu maupun inovator yang terlibat baik perorangan maupun perusahaan. Televisi adalah karya massal yang dikembangkan dari tahun ke tahun.
Televisi merupakan media temuan orang-orang Eropa. Perkembangan pertelevisian di dunia ini sejalan dengan kemajuan teknologi elektronika, yang bergerak pesat sejak ditemukanya hukum gelombang elektromagnetik yang ditemukan oleh Joseph Henry dan Michael Faraday (1831) yang merupakan awal dari era komunikasi elektronik.[1] George Carey (1876) menciptakan selenium camera yang digambarkan dapat membuat seseorang melihat gelombang listrik. Belakangan, Eugen Goldstain menyebut tembakan gelombang sinar dalam tabung hampa itu dinamakan sinar katoda. Kemudian ditemukan transistor oleh William Sockley dan kawan –kawan pada tahun 1946.
Transistor yang dibuat dari pasir silicon yang banyak terdapat di lembah Silicon di California Amerika Serikat ini merupakan benda sebesar pasir yang berfungsi sebagai penghantar listrik bebas hambatan. Transistor ini sanggup menggantikan fungsi tabung ( vacuum tube) yang diciptakan oleh Lee De Forest pada tahun 1912.[2]
Selanjutnya pada tahun 1923 Vladimir Katajev Zworykin berhasil menciptakan sistem televisi elektris. Dan tahun 1930 Philio T. Farnsworth menciptakan sistem televisi. Penemuan  dasar televisi ini terus berkembang sampai akhirnya Julius Paul Gottlieb Nipkow atau lebih dikenal
Paul Nipkow seorang ilmuan Jerman memiliki ide bagaimana dapat mengirim gambar melalui udara dari satu tempat lain dan ia berhasil mengirim gambar elektronik menggunakan kepingan logam yang disebut teleskop elektrik dengan resolusi 18 garis . Temuannya disebut sebagai cikal bakal lahirnya televisi. Penemuan dasar televisi ini terus berkembang sampai akhirnya Paul Nipkow melahirkan televisi mekanik. Hal ini membuktikan ketika di New York Wolrd’s Fair tahun 1939 dipamerkan pesawat televisi berukuran 8x10 inci. Dari sinilah akhirnya berkembang pesawat televisi yang kita kenal sekarang. Sementara untuk pertama kalinya gambar televisi mulai terlihat tahun 1920 di Amerika Serikat.[3]
Karena ketekunannya Paul Nipkow akhirnya menemukan sebuah alat yang kemudian disebut “ Jantra Nipkow” atau sering disebut juga “ Nipkow Sheibu”. Penemuan itu melahirkan electrische teleskop, atau televisi elektris. Dengan penemuan itu, Paul Nipkow disebut sebagai bapak televisi.
Dalam usaha pengembangan televisi banyak yang berjasa seperti halnya S.Morse, A.G.Bell dan Herbert E.Ives mereka asal Amerika. Tak mau kalah dengan Jerman dan Amerika Negara-negara lain pun juga ikut andil dalam pengembangan televisi. Banyak para ahli-ahli yang ikut menyumbangkan peranya antara lain Galilei dari Italia, May dan Vellougbhy smith dari Inggris dan Weiller berkebangsaan Jerman serta sarjana Rusia yaitu Dr. Vk Zworykin.
Media massa televisi memiliki keistimewaan lain dibandingkan dengan media massa seperti (radio, surat kabar, majalah, buku, dll) karena televisi merupakan Audio-Visual yang artinya penggabungan fungsi dari media suara dan juga media gambar. Biasanya televisi juga bersifat politis bahkan cukup besar karena di dalam televisi tersebut dapat menampilkan konten-konten informasi, hiburan, dan pendidikan, atau ketiganya tersebut digabungkan menjadi satu konten acara sehingga dengan kasat mata terlihat sekali adanya unsur politik.
Jika seseorang menonton televisi maka orang tersebut bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu penonton dapat melihat acara televisi sambil duduk santai, sedang makan, sedang tidur bahkan ketika beraktivitas itupun bisa menikmati acara televisi yang memiliki berbagai informasi informasi yang ada.
Stasiun Televisi di Indonesia
Pada tahun 1952, muncul gagasan dari menteri penerangan saat itu, maladi untuk mendirikan sebuah stasiun televisi di Indonesia. Meski jumlah pemilik pesawat televisi masih sangat sedikit dan itupun terpusat di Jakarta, namun bangsa Indonesia dari kacamatanya sudah memerlukan stasiun televisi nasional. Sepuluh tahun kemudian pada bulan Agustus 1962, keinginan itu terlaksana dengan nama Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Ide itu sejalan dengan cita-cita Presiden Soekarno yang ingin menjadikan bangsa Indonesia sebagai mencusuar melalui penciptaan hal-hal besar.[4] Dengan stasiun televisi, tujuan-tujuan pemerintah yang bersifat politis, pedagogis, dan prestise, baik internal maupun eksternal akan relative mudah untuk bisa dicapai.
Siaran televisi di Indonesia dimulai pada tahun 1962 saat TVRI menayangkan langsung upacara hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-17 pada tanggal 17 agustus 1962.[5] Dan pemerintah ikut memasukan proyek media massa televisi ini kedalam proyek pembangunan Asean Games IV dan juga menyiarkan pembukaan Asian Games di stadion Gelora Bung Karno secara langsung.
Mulai saat itu stasiun TVRI mendominasi semua acara-acara hiburan, pendidikan dan informasi. Maka selama 27 tahun masyarakat Indonesia hanya bisa menonton satu saluran saja. Barulah pada tahaun 1989 pemerintah akhirnya mengizinkan operasi kepada kelompok usaha Bimantara untuk membuka stasiun televisi  RCTI sebagai televisi swasta pertama di Indonesia, disusul kemudian dengan SCTV, Indosiar, ANTV, dan TPI.
Gerakan reformasi pada tahun 1998 telah memicu perkembangan industri media massa khususnya televisi. Seiring dengan itu, kebutuhan masyarakat terhadap informasi juga semakin bertambah. Menjelang tahun 2000 muncul hampir serentak lima televisi swasta baru yaitu 

Karakteristik Televisi
Televisi adalah media pandang sekaligus media dengar (audio-visual). Orang memandang gambar yang ditayangkan ditelevisi, sekaligus mendengarkan atau menerima narasi dari gambar tesebut maka televisi memerlukan apa saja antara lain yaitu:
·         Mengutamakan Gambar
Kekuatan terbesar televisi yaitu terletak di gambar, yang didukung dengan narasi dan diperkuat oleh gambar. Maksudnya televisi memiliki daya tarik lebih dibandingkan media cetak.
·         Mengutamakan Kecepatan
Dalam sebuah pemberitaan pasti memerlukan kecepatan dalam menyiarkanya. Dan televisi sangat mengutamakan kecepatan, kecepatanya bahkan menarik dan menonjol dalam rentang waktu tertentu. Akan ditayangkan paling cepat oleh televisi. perbedaan kecepatan televisi dengan media cetak yaitu terletak pada deadline cetak 1x24 dan deadline media televise hampir setiap detik.
·         Bersifat Sekilas
Jika media cetak menggutamakan dimensi ruang, televisi lebih mengutamakan dimensi waktu atau durasi. Durasi berita televisi terbatas, bersifat sekilas dan berita yang ditayangkan televisi cenderung tidak mendalam.
·         Bersifat Satu Arah
Televisi bersifat satu arah. Jadi dimana ketika seorang komunikator menyampaikan berita di televisi maka seorang komunikan tidak bisa memberikan respon secara langsung, kecuali pada saat program interaktif.
·         Daya Jangkau Luas
Televisi memiliki jangkauan yang luas,televisi bisa menjangkau segala aspek lapisan masyarakat, dengan berbagai latar belakang sosial-ekonomi.
Kelebihan dan Kelemahan  Televisi
            Sebagai media massa yang tumbuh belakangan , dan merupakan konvergensi dari media radio, surat kabar, industri musik, pertunjukan panggung dsb. Televisi memiliki kekuatan sangat besar dibandingkan jenis media massa lain. Meskipun teknologi internet hadir dengan berbagai kelebihan namun sampai saat ini internet belum mampu menggeser dominasi televisi. Dimana-mana presentase penggunaan jenis media massa masih dikuasai oleh televisi. Kemampuan televisi mendominasi media lain karena media ini mempunyai sejumlah kelebihan, namun media ini juga memiliki kelamahan di antara lain sebagai berikut : 
Kelebihan Televisi
1.      Kesan realistik : audio visual.
2.      Masyarakat lebih tanggap : menonton dalam suasana santai, rekreatif.
3.      Adanya pemilihan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat.
4.      Tekait erat dengan media lain.
5.      Cepat, dari segi waktu, cepat dalam menyebarkan berita ke masyarakat luas.
6.      Terjangkau luas, menjangkau masyarakat secara luas.
7.      Menghadirkan realitas sosial.
8.      Simultaneous
9.      Member rasa intim/kedekatan.
10.  Menghibur
11.  Menentukan kelompok yang dituju
Kelemahan Televisi
1.      Jangkauan pemirsa missal, sehinga pemilihan (sulit menentukan untuk pangsa pasar tertentu) sering sulit dilakukan.
2.      Iklan relativi singkat, tidak mampu menyampaikan data lengkap dan rinci (bila diperlukan konsumen).
3.      Relative mahal.
4.      Pembuatan iklan televisi cukup lama dan persaingan televisi.
5.      Kurang berkesinambungan dan cendrung mengabaikan isu-isu mendalam.
Pengaruh Televisi
Televisi merupakan media massa yang mengalami perkembangan paling fenomenal di dunia. Meski televisi lahir paling belakangan dibanding media massa cetak, dan radio, namun pada akhirnya media televisilah yang paling banyak diakses oleh masyarakat dimana pun di dunia ini. Dalam penggunaanya pun juga sangat fantastis.
Banyak aspek kehidupan manusia dari mulai perilaku, gaya, dan hal lain yang masih banyak lagi  semuanya dipengaruhi oleh teyangan televisi. Oleh karena besarnya pengaruh televisi bagi kehidupan manusia modern maka kemudian muncul keinginan untuk memanfaatkan televisi sebagai media pendidikan. Kalau saja media yang sangat mempengaruhi itu dimanfaatkan untuk menyampaiakan pesan-pesan pendidikan tentu saja akan memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan peradapan manusia. Harapan demikian itulah yang mendorong munculnya upaya-upaya di berbagai Negara untuk mewujudkaan televisi sebagai media pendidikan, lalu munculah istilah televisi pendidikan atau TV-E (eduacational television).
Pengaruh buruk televisi bagi masyarakat tentunya sangat luar biasa, pengaruh itu bisa dirunjukan lewat kebiasaan masyarakat yang hampir tiap hari mengkonsumsi siaran televisi. Mereka mampu berjam-jam didepan layar televisi untuk menonton segala acara yang disiarkannya, namun ketika masyarakat dihadapkan dengan membaca sebuah berita di Koran maupun membaca buku masyarakat cenderung lebih tidak menyukai, karena budaya kita tidak terbiasa dengan kebudayaan membaca.
Dalam sejarah media kita dapat melihat bahwa dengan  adanya teknologi baru, tidak berarti teknologi lama ditinggalkan, melainkan teknologi lama hidup terus berdampingan dengan teknologi baru. Oleh sebab itu, untuk menilai apakah ada kemajuan atau kemunduran, kita jangan melihat kebudayaan audiovisual terpisah dari kebudayaan yang mendahuluinya. Lihatlah sebagai pelengkap. Jadi, pertanyaan bukan mana yang lebih baik kebudayaan tulis atau audiovisual, melainkah apakah kebudayaan audiovisual dapat melengkapapi kekurang-kekurang yang ada pada budaya tulis atau apakah kepincangan-kepincangan kebudayaan tulis dapat dikoreksi oleh kebudayaan audiovisual.(Hofmann, 1999).[6]
            Jadi televisi tidak bisa dikatakan sebagai media pembawa kemunduran untuk media lainya. Karena setiap masing-masing media memiliki keunggulan maupun kekurangan tesendiri, namun masing-masing kebudayaan saling mendukung satu sama lain.
            Di Indonesia sendiri masyarakat temasuk kategori views society, yakni suatu keadaan dimana kegiatan menonton lebih ditonjolkan dibanding yang lainya, misalkan seperti membaca buku atau Koran. Dengan hal seperti itu maka masyarakat Indonesia cenderung buta huruf dan masyarakat semakin rendah dalam posisi reading society, sehingga masyarakat masih kurang bahan bacaan karena belum mengganggap penting sebagai bahan pokok.
Sistem Penyiaran
Kegiatan penyiaran
Penyiaran/siaran sebagai output media televisi memiliki fungsi yang sama dengan media lainya, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, menghibur, mempromosikan, menjadi agen perubahan sosial, dan melakukan kontrol sosial, serta mentransfer nilai-nilai budaya.
            Setiap acara siaran itu terlebih dahulu direncanakan, produksi, dan di tampilkan kepada khalayak dengan isi pesan yang berifat edukatif, informative, dan komunikatif. Pengolahan siaran, khususnya dalam hal perencanaan atau programming, diselenggarakan pada kesadaran bahwa, siaran memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membangun dan menghancurkan masyarakat.
Sebuah acara, terutama televisi memiliki daya penetrasi yang sangat kuat terhadap individu dan kelompok/masyarakat, sehingga siaran televisi dapat menimbulkan dampak yang luas di masyarakat.[7] Ouput penyelenggaraan penyiaran adalah siaran. Siaran adalah dagangan atau komonditi dengan sasaran khalayak sebagai konsumen.
Siaran dapat dijual dan dapat pula dipakai untuk sarana menjual produk atau jasa. Hal ini dikarenakan sasaran khalayak yang dapat dijangkau melalui siaran relative sangat luas, dan terutama televisi memiliki daya stimulasi yang sangat tinggi terhadap khalayak.
Pengaruh Televisi di Kalangan Rumah Tangga
Televisi memberikan informasi, pengetahuan & pendidikan.
Televisi bisa mengerutkan dunia dan melaksanakan penyebaran berita dan gagasan lebih cepat. Dengan media televisi dunia kelihatan semakin kecil dari sebelumnya. Kita bisa memperoleh kesempatan untuk memperoleh informasi yang lebih baik tentaang apa yang terjadi di dunia. Berita-berita teraktual bisa langsung disebarkan ke berbagai pelosok dunia secara langsung. Berita televisi telah bisa menyatukan hati semua orang  melalui informasi yang diberikan. Dengan menonton berita televisi akan menambah wawasan kita. Selain itu dengan sering kita melihat televisi pengetahuan akan informasi masyarakat menjadi lebih aktif dalam dunia informasi dan tidak ketinggalan informasi yang telah berkembang.
Sisi negatif yang diberikan oleh televisi
Pengaruh yang tercipta oleh media televisi bisa mempercepat kehancuran nilai-nilai agama dan moral tradisional dari pemirsanya.
Dengan sering kita melihat tayangan televisi maka dengan mudah kita akan dikendalikan oleh media televisi jika kita tidak peka terhadap dampak yang ditimbulkannya. Seolah-olah apa yang diberitakan ditelevisi itu memang semuanya benar dan wajib kita ketahui, padahal tidak semuanya berita yang ada di televisi itu benar, terkadang media televisi membuat sebuah acara itu bukan sekedar memberikan informasi tehadap pemirsanya namun juga karna media televisi memiliki kepentingan untuk mempromosikan sebuah acara yang ditayangkan demi mencari popularitas dan mendapatkan keuntungan bagi pemilik medianya dan juga dari acaranya itu sendiri, justru masyarakat yang dirasa dirugikan nantinya. Secara tidak langsung masyarakat terbawa dan mengikuti semua yang sudah diberikan oleh media dan sudah menjadi kebiaasan masyarakat.
Masyarakat memiliki hak terhadap tayangan Televisi
Ketika masyarakat telah melihat sebuah tayangan ditelevisi, dan masyarakat tidak peka terhadap dampak yang di timbulkan nanti, maka masyarakat itu sendiri akan terjebak dalam pusaran tayangan televisI yang selalu mempesuasif penontonnya.
Dahulu sering kita melihat tayangan di salah satu stasiun televisi yang menampilkan acara Smack Down, ketika itu masyarakat luas dapat menyaksikan secara bebas tanpa adanya pengawasan dari berbagai pihak apalagi larangan untuk di tonton dan di tiru. Dari berbagai penonton yang melihat acara tersebut yang terkena dampak paling parah yaitu para anak-anak kecil yang sangat menyukai acara tersebut. Padahal acara yang ditampilkan sebenarnya tidak layak untuk di tonton oleh seusia anak kecil. Acara tersebut menayangkan jika ada sesorang atau bahkan beberapa orang yang sedang diatas ring gulat dan mereka melakukan apa saja yang seperti Nampak sebuah kekerasan terhadap manusia, dengan cara dibanting, di tendang, dan di tonjok bahkan tak jarang mereka juga menggunakan alat tajam yang keras untuk melukai lawannya, namun orang yang bergulat dengan adegan yang penuh kekerasan itu tetap tidak nampak kesakitan atau bahkan terlihat adanya luka yang berdarah-darah atau mati sekalipun jika parah. Jika itu dilakukan di dunia nyata rasanya tidak mungkin bisa terjadi, mungkin saja bisa terjadi halnya seperti tinju biasa, nampak sekali bahwa Smack Down itu Cuma rekayasa dari sebuah program televisi luar yang pandai membuat ilustrasi.
Sisi negatif dari tayangan itu sangat terlihat sekali bahwa anak-anak kecil sering melakukan tindakan yang serupa seperti halnya yang ada ditelevisi ketika anak kecil itu menonton. Anak kecil yang suka melihat acara Smack Down Mereka lebih suka  mengajak teman sebayanya untuk berkelahi denganya. Seolah-olah bak seorang pahlawan yang memiliki kekuatan lebih, dan mereka saling gulat dan saling hantam. Alhasil yang terjadi saat itu mereka saling kesakitan, dan yang paling mengejutkanya lagi bahwa apa yang dilakukan si anak kecil tersebut dapat menimbulkan kerugian yang paling besar yaitu sebuah kematian yang tragis.
Dari situlah korban-korban dari sebuah penikmat acara di televisi yang ketika menonton tidak mempunyai filter yang baik atau tidak adanya literasi  media yang cukup baik. Lantas hal itu akan ditanyakan kepada siapa, sebagai penanggung jawab. Apakah ini salah medianya yaitu televisi atau PH-nya atau yang lainya. Dalam kaitanya hal ini sebenarnya  kita tidak perlu mencari mana yang selama ini salah atau benar. Yang harus kita lakukan yaitu dengan sering kita melihat media maka kita harus juga melek (literacy) terhadap media itu. Caranya yaitu dengan melihat dan mengambil sisi positifnya dan meninggalkaan dampak negatifnya. Seperti contoh yang sudah diberikan diatas jika masyarakat selaku penikmat acara, maka lihatlah dan cermati terlebih dahulu seperti apakah acara tersebut. Jika acara tersebut baik untuk kita tonton, tidaklah menjadi hal yang bermasalah untuk kita tonton, namun jika acara tersebut sudah nampak adanya dampak negatif yang nantinya akan ditimbulkanya maka lebih baik tidak menontonya.
Jika terjadi efek negatif pada tayangan televisi biasanya pihak televisi sering tak mau tahu dan ambil pusing yang terpenting pada prinsipnya iklan terus membanjir membiayai paket acara. Pemirsa oleh TV swasta, hanya dianggap sekedar objek pasif yang haus hiburan ( teori jarum suntik) yang langsung terpengaruh atas tayangan TV.[8]
Masyarakt luas jika bisa melek (peka) terhadap sebuah tayangan yang dapat merugikan dapat menuntut haknya terhadap medianya dengan cara antara lain:
1.      Pemirsa segara melakukan pengaduan tertulis maupun lisan ke lembaga-lembaga terkait, seperti lembaga konsumen Indonesia, KPI, DPR, serta jalur hukum lainya.
2.      Pemirsa juga bisa melakukan pengaduan kepada Departemen Komunikasi dan Informasi (keminfo) untuk segera melakukan somasi terhadap acara-acara televisi tertentu yang berakibat merusak dan meresahkan kehidupan bahkan menanamkan kebiasaan buruk masyararak baik itu berupa sinetron, musik, maupun film.
3.      Masyarakat dapat langsung mendatangi pihak televisi yang bersangkutan dan mengajukan keberatan secara tertulis maupun secara lisan. Mengingatkan pihak televisi bahwa tayangan acara telah menimbulkan efek buruk dalam lingkungan masyarakat.Literasi media