MAKALAH
SOSIOLOGI
KOMUNIKASI
[
DIMENSI HIPEREALITAS DAN POLITIK CITRA ]
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nampaknya kita semua sama sekali belum menyadari
dimensi hiperialitas serta politik citra yang kerap kali diagung-agungkan media
massa saat ini. Bagaimana tidak, hal ini merupakan suatu dimensi kehidupan yang
masuk dalam tatanan masyarakat pada umumnya secara radikal. Kita perlu
menyadari bahwa media massa memiliki dimensi hiperialitas serta politik citra
yang dibangun dalam setiap kemasan-kemasan yang disajikan
Dalam
makalah yang berjudul “Dimensi Hiperialitas dan Politik Citra” ini akan membahas
bagaimana dimensi hiperialitas serta politik citra yang dibangun oleh media
sehingga bisa merasuk dalam relung-relung kehidupan manusia. Adapun yang
dimaksud dengan hiperialitas adalah realitas semu yang dimana kebenarannya tidak
dapat dibuktikan, hal ini akan bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya.
Hiperialitas juga merupakan hasil dari permasalahan yang sudah dikonstruksikan
sebelumnya.
Begitu
pula dengan politik citra, dimana politik citra merupakan suatu keadaan yang di
buat oleh suatu kelompok atau organisasi tertentu dengan tujuan untuk menyebar
luaskan segala hal untuk diperlihatkan kepada khalayak dengan tujuan untuk
membangun brand atau nama baik suatu
kelompok. Politik citra kerap kali dilakukan oleh partai-partai politik dengan
tujuan untuk menarik peratian publik. Hal ini tidak jarang kita temui dalam
iklan-iklan yang ditayangkan oleh media massa.
Dalam
penyajiannyapun politik citra yang dibangun adalah hal-hal positif. Hal ini
akan semakin sering dilakukan oleh golongan tertentu dengan kepentingan
tersendiri. Politik citra berusaha untuk menarik perhatian public dengan
berbagai cara, sehingga dapat kita saksiakan banyak janji-janji yang di
tawarkan segai visi dan misinya.
Namun
hal ini tidaklah dapat dibuktikan secara mutlak. Adapun pembahasan dalam materi
ini tidak hanya membahas tentang hiperialitas dan politik citra saja, akan
tetapi juga membahas tentang simulacra
dalam media menurut Jhon Boudrilard serta pembahasan tentang politik imagology. Dalam pembutan makalah ini
tori-teori diambil dari pemikir modernism seperti rentetan pemikir Kalr
Max.perlu kita ketahui juga bahwasanya Jhon Boudrlard merupakan salah satu
pemikir aliran postmodern. Ia juga dikenal sebagai pemikir yang kritis, serta
banyak menghasilkan karya-karya yang berinstrumen negative.
Semoga
dengan kehadiran makalah ini kita semakin tersadarkan akan hiperialitas yang di
bangun serta politik citra yang kerap kali sebagi hidangan dalam sajian media
massa saat ini. Harapannya semoga kita semakin mnjadi orang yang kritis dalam
setiap permasalahan yang disuguhkan oleh media mssa saat ini, terutama sajian
kotak ajaib layar kaca.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Terbentuknya Hyperreallity
Hiperealita
terbentuk dari suatu kondisi yang
didalamnya kepalsuan berbaur dengan kenyataan. Banyak fakta yang bersimpang
siur kebenarnnya dengan hasil rekayasa. Sehingga bisa dikatakan dusta
bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, isu dan
realitas seakan-akan tidak berlaku lagi dalam dunia seperti itu.
Dalam hal ini Jhon Boudrilard dan Rolad
Barthes memandang
hiperealitas dalam media sebagai suatu realita yang semu, realitas yang ditampilkan dalam
media adalah realitas yang sudah dikonstruksikan. Sehingga dalam kebenarannya
tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dapat juga disaksikan bahwa setiap sajian
berupa siaran yang disajikan dalam media massa pada umumnya merupakan hasil
yang didramatisasi. Dimana itu semua dilakukan melalui alur yang penuh aksi
dramatis. Secara umum itu semua dikendalikan oleh rumah produksi yang
membuatnya, bukan lagi oleh pelaku utama yang memiliki cerita. Pada akhirnya
hal inilah yang menjadi mustahil atau sulit untuk dibedakan dari kejadian nyata
atau hanya sekedar tontonan belaka.
Dampak
yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap
kenyataan yang sebenarnya yang
dimana itu bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat
menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya
sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Serta terbentuknya pola pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala
sesuatunya ingin cepatsaji. Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat
modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas
esensinya. Kebanyakan dari masyarakat saat ini mengkonsumsi segala sesuatu bukan karena kebutuhan
ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan
gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih tertarik dengan gaya hidupnya dan nilai
yang mereka junjung tinggi.
Industri
mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak
sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder, sampai tersier. Ditemani
oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan produk
menjadi lebih gencar tambah lagi teknologi informasi yang memungkinkan pihak
pengusaha untuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakat yang dihadapi,
dan pihak konsumen mendapatkan informasi tentang kebutuhan yang mereka tidak
butuhkan tetapi mereka inginkan.
Asumsi-asumsi
yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak
bisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.
2.1. Simulacra/Simulasi
Konsep
Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang pembentukan fakta melalui model
konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat
dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu
pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia –
seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui
berbagai media dengan model-model yang ideal. Pada akhirnya disinilah batas antara
simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality, dimana yang nyata dan yang tidak nyata
menjadi tidak jelas atau
terkaburkan.
Kebudayaan
industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan
entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak
sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra), hal ini membuat
mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh
keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan sebagainya.
Di
tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah
hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak
hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat
direkayasa, dibuat dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang
sengkarut menandakan datangnya era kebudayaan postmodern. Simulasi mengaburkan
dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imaginer, yang benar dengan yang palsu.
Teori
ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam
menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada
“nilai tanda”. Adapun
kemunculan Simulacrum menurut Baudrillard,
Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra (gambar, citra atau
penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman). Manusia postmodern
hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, tidak ada yang nyata di luar
simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Nilai guna komoditas dan nilai
imperatif sebuah produksi pun telah digantikan oleh model, kode, tontonan dan
hiperrealisme “simulasi”. Komunikasi lewat media telah membuat orang terjebak
dalam permainan simulacra yang tidak berhubungan dengan “realitas eksternal”. Kita
hidup di dunia simulacra, dunia yang dipenuhi citra atau penanda suatu
peristiwa dan telah menggantikan pengalaman nyata. Ya, kita hidup di dunia yang
penuh dengan simulasi: tidak nyata, tidak asli, dan tidak dapat ditiru. Dunia
tak lagi nyata, karena yang “yang ada “ hanyalah simulasi.
Baudrillard
menguraikan bahwa pada jaman kini “masyarakat” sudah sirna dan digantikan oleh
mass atau massa. Massa tidak mempunyai predikat, atribut, kualitas maupun
reference . Pendeknya, massa tidak mempunyai realitas sosiologikal.
(Baudrillard: 1978)
2.3 Syimbol/Semiotik
Dalam media Baudrillard
menggambarkan dunia ini sebagai Hiperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak
lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih real
dari realitas (Ritzer 2009 : 678 ). Hipperealitas adalah efek, keadaan atau
pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut
(Piliang, 2003 : 150). Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi
dalam dunia hiperealitas tidak saja realitas yang hilang, tetapi juga dunia tak
nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Hipperealitas
adalah duplikat dari realitas yang didekodifikasikan ( Piliang, 2003 : 152).
Teori Semiotika Media – Hiperealitas.
2.4 Politik
Citra
Politik citra merupakan salah satu bentuk politik yang
dilakukan oleh media untuk membangun image positip terhadap
publik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan
suatu pemahaman bahwa apa yang di bangun oleh media itu secara tidak
langsung akan diterima dan menjadi sebuah pemahaman.
Dalam hal ini media memang berhasil
membuat realitas baru yang selalu mengedepankan hal-hal yang sempurna yang
membuai manusia. Sebagai contoh adalah masalah “kecantikan”. Media begitu apik
membuat realitas tentang kecantikan, bahwa kecantikan itu adalah wanita dengan
kulit putih, hidung mancung, alis rapih, dan sebagainya, sehingga setiap wanita
yang ingin tampil cantik maka ia harus memiliki kulit putih, hidung mancung,
dan sebagainya.
Hal
ini pun terjadi pada diri lelaki tersebut dimana media berhasil menciptakan
realitas dimana lelaki tersebut akan mendapatkan perempuan yang diinginkan yang
ia tidak dapatkan di dunia nyata yang sesungguhnya. Oleh karena itu media
berhasil menciptakan tanda-tanda sebagai realitas yang baru yang lebih baik
dari realitas yang sesungguhnya.
2.5. Politik
Imogology
Baudrillard
menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya
kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan
digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam
lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari
suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu yang
real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard
sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)
Dari uraian tentang pemikiran Baudrillard diatas maka dapat diperoloeh kesimpulan sebagai berikut
1. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, didalamnya citra atau penanda atau kode atas suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Zaman simulasi adalah jaman informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes dan cybernetics.
2. Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu fungsi tanda (sign function) dalam linguistik. Iklan atau reklame telah mengambil-alih tanggungjawab moral masyarakat dan telah menggantikan moralitas puritan dengan moralitas hedonistik yang mengacu hanya kepada kesenangan saja dan menjadikannya sebagai barometer dari hypercivilization.
3. Secara ontologis, komunikasi (khususnya komunikasi massa) merupakan upaya untuk mempengaruhi masa untuk mengikuti ritual-ritual ekonomi konsumtif. Secara epistemologis, proses komunikasi merupakan simulacra. Secara aksiologis, komunikasi massa dimaksudkan agar masyarakat mengikuti irama kepentingan ekonomis-politis kapitalisme, sehingga hubungan masyarakat dicitrakan dalam budaya massa.Sosiologi komunikasi
Dari uraian tentang pemikiran Baudrillard diatas maka dapat diperoloeh kesimpulan sebagai berikut
1. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, didalamnya citra atau penanda atau kode atas suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Zaman simulasi adalah jaman informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes dan cybernetics.
2. Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu fungsi tanda (sign function) dalam linguistik. Iklan atau reklame telah mengambil-alih tanggungjawab moral masyarakat dan telah menggantikan moralitas puritan dengan moralitas hedonistik yang mengacu hanya kepada kesenangan saja dan menjadikannya sebagai barometer dari hypercivilization.
3. Secara ontologis, komunikasi (khususnya komunikasi massa) merupakan upaya untuk mempengaruhi masa untuk mengikuti ritual-ritual ekonomi konsumtif. Secara epistemologis, proses komunikasi merupakan simulacra. Secara aksiologis, komunikasi massa dimaksudkan agar masyarakat mengikuti irama kepentingan ekonomis-politis kapitalisme, sehingga hubungan masyarakat dicitrakan dalam budaya massa.Sosiologi komunikasi
PENUTUP
Dari
sekian penjelasan yang cukup banyak dan juga luas, dapat kami simpulkan secara
umum bahwa dimensi hiperealitas dan juga politik citra ini adalah sebagai
bentuk gambaran yang dibuat atau dihasilkan oleh sebuah media massa untuk
menarik seseorang. Tak jarang sebuah media selalu saja menerapkan hipereality
ini sebagai arahan kepada penonton media-nya untuk menirukan suatu gambaran
tersebut. Pada dasarnya hal itu belum tentu keberannya namun seolah olah di
tampilkan sisi kebenaranya. Sedangkan politik citra yaitu sama halnya membuat
suatu pencitraan yang baik terhadap “brend” atau merek yang di unggulkan Hal
ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi karena didalamnya tersebut sangat
erat kaitanya dengan politik. contoh yang kerap ditemui yaitu politik parpol
dan juga iklan-iklan yang ada dimedia.
Mungkin itu saja yang dapat kami
jelaskan dalam makalah ini, dikarenakan keterbatasan wawasan kami dan juga
pemahaman yang masih kurang. Namun hal itu tidak menyurutkan kami untuk selalu
belajar dan belajar yang lebih baik lagi. Dan kami juga mohon maaf jika makalah
kami ini masih banyak kekurangan, salah kalimat maupun salah ketik, kami tidak
lepas dari kesalahan, maka dari itu untuk membangun yang lebih baik lagi
kedepanya harapan kami kritik dan saran kami anjurkan demi perbaikan kami.
Terimakasih..
0 comments:
Posting Komentar