Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by PRChecker.info service

Selamat Datang



Kamis, 14 Januari 2016

contoh makalah sosiologi politik citra dan hiperealita

MAKALAH
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
[ DIMENSI HIPEREALITAS DAN POLITIK CITRA ]

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Nampaknya  kita semua sama sekali belum menyadari dimensi hiperialitas serta politik citra yang kerap kali diagung-agungkan media massa saat ini. Bagaimana tidak, hal ini merupakan suatu dimensi kehidupan yang masuk dalam tatanan masyarakat pada umumnya secara radikal. Kita perlu menyadari bahwa media massa memiliki dimensi hiperialitas serta politik citra yang dibangun dalam setiap kemasan-kemasan yang disajikan
Dalam makalah yang berjudul “Dimensi Hiperialitas dan Politik Citra” ini akan membahas bagaimana dimensi hiperialitas serta politik citra yang dibangun oleh media sehingga bisa merasuk dalam relung-relung kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan hiperialitas adalah realitas semu yang dimana kebenarannya tidak dapat dibuktikan, hal ini akan bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Hiperialitas juga merupakan hasil dari permasalahan yang sudah dikonstruksikan sebelumnya.
Begitu pula dengan politik citra, dimana politik citra merupakan suatu keadaan yang di buat oleh suatu kelompok atau organisasi tertentu dengan tujuan untuk menyebar luaskan segala hal untuk diperlihatkan kepada khalayak dengan tujuan untuk membangun brand atau nama baik suatu kelompok. Politik citra kerap kali dilakukan oleh partai-partai politik dengan tujuan untuk menarik peratian publik. Hal ini tidak jarang kita temui dalam iklan-iklan yang ditayangkan oleh media massa.
Dalam penyajiannyapun politik citra yang dibangun adalah hal-hal positif. Hal ini akan semakin sering dilakukan oleh golongan tertentu dengan kepentingan tersendiri. Politik citra berusaha untuk menarik perhatian public dengan berbagai cara, sehingga dapat kita saksiakan banyak janji-janji yang di tawarkan segai visi dan misinya.
Namun hal ini tidaklah dapat dibuktikan secara mutlak. Adapun pembahasan dalam materi ini tidak hanya membahas tentang hiperialitas dan politik citra saja, akan tetapi juga membahas tentang simulacra dalam media menurut Jhon Boudrilard serta pembahasan tentang politik imagology. Dalam pembutan makalah ini tori-teori diambil dari pemikir modernism seperti rentetan pemikir Kalr Max.perlu kita ketahui juga bahwasanya Jhon Boudrlard merupakan salah satu pemikir aliran postmodern. Ia juga dikenal sebagai pemikir yang kritis, serta banyak menghasilkan karya-karya yang berinstrumen negative.
Semoga dengan kehadiran makalah ini kita semakin tersadarkan akan hiperialitas yang di bangun serta politik citra yang kerap kali sebagi hidangan dalam sajian media massa saat ini. Harapannya semoga kita semakin mnjadi orang yang kritis dalam setiap permasalahan yang disuguhkan oleh media mssa saat ini, terutama sajian kotak ajaib layar kaca.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Terbentuknya Hyperreallity
Hiperealita terbentuk dari suatu kondisi yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan kenyataan. Banyak fakta yang bersimpang siur kebenarnnya dengan hasil rekayasa. Sehingga bisa dikatakan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, isu dan realitas seakan-akan tidak berlaku lagi dalam dunia seperti itu.
Dalam hal ini Jhon Boudrilard dan Rolad Barthes memandang hiperealitas dalam media sebagai suatu realita yang semu, realitas yang ditampilkan dalam media adalah realitas yang sudah dikonstruksikan. Sehingga dalam kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dapat juga disaksikan bahwa setiap sajian berupa siaran yang disajikan dalam media massa pada umumnya merupakan hasil yang didramatisasi. Dimana itu semua dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis. Secara umum itu semua dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya, bukan lagi oleh pelaku utama yang memiliki cerita. Pada akhirnya hal inilah yang menjadi mustahil atau sulit untuk dibedakan dari kejadian nyata atau hanya sekedar tontonan belaka.
Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya yang dimana itu bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Serta terbentuknya pola pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepatsaji. Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat saat ini  mengkonsumsi segala sesuatu bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih tertarik dengan gaya hidupnya dan nilai yang mereka junjung tinggi.
Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder, sampai tersier. Ditemani oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan produk menjadi lebih gencar tambah lagi teknologi informasi yang memungkinkan pihak pengusaha untuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakat yang dihadapi, dan pihak konsumen mendapatkan informasi tentang kebutuhan yang mereka tidak butuhkan tetapi mereka inginkan.
Asumsi-asumsi yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.
2.1. Simulacra/Simulasi
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang pembentukan fakta melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal. Pada akhirnya disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality, dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas atau terkaburkan.
Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda (signs/simulacra), hal ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan sebagainya.
Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya era kebudayaan postmodern. Simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imaginer, yang benar dengan yang palsu.
Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”. Adapun kemunculan Simulacrum menurut Baudrillard, Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra (gambar, citra atau penanda suatu peristiwa yang telah menggantikan pengalaman). Manusia postmodern hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Nilai guna komoditas dan nilai imperatif sebuah produksi pun telah digantikan oleh model, kode, tontonan dan hiperrealisme “simulasi”. Komunikasi lewat media telah membuat orang terjebak dalam permainan simulacra yang tidak berhubungan dengan “realitas eksternal”. Kita hidup di dunia simulacra, dunia yang dipenuhi citra atau penanda suatu peristiwa dan telah menggantikan pengalaman nyata. Ya, kita hidup di dunia yang penuh dengan simulasi: tidak nyata, tidak asli, dan tidak dapat ditiru. Dunia tak lagi nyata, karena yang “yang ada “ hanyalah simulasi.
Baudrillard menguraikan bahwa pada jaman kini “masyarakat” sudah sirna dan digantikan oleh mass atau massa. Massa tidak mempunyai predikat, atribut, kualitas maupun reference . Pendeknya, massa tidak mempunyai realitas sosiologikal. (Baudrillard: 1978)
2.3 Syimbol/Semiotik
Dalam media Baudrillard menggambarkan dunia ini sebagai Hiperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih real dari realitas (Ritzer 2009 : 678 ). Hipperealitas adalah efek, keadaan atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut (Piliang, 2003 : 150). Baudrillard mengungkapkan bahwa apa yang direproduksi dalam dunia hiperealitas tidak saja realitas yang hilang, tetapi juga dunia tak nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi atau science fiction. Hipperealitas adalah duplikat dari realitas yang didekodifikasikan ( Piliang, 2003 : 152). Teori Semiotika Media – Hiperealitas.
2.4 Politik Citra
Politik citra merupakan salah satu bentuk politik yang dilakukan oleh media untuk membangun image positip terhadap publik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan suatu pemahaman bahwa apa yang di bangun oleh media itu secara tidak langsung akan diterima dan menjadi sebuah pemahaman.
Dalam hal ini media memang berhasil membuat realitas baru yang selalu mengedepankan hal-hal yang sempurna yang membuai manusia. Sebagai contoh adalah masalah “kecantikan”. Media begitu apik membuat realitas tentang kecantikan, bahwa kecantikan itu adalah wanita dengan kulit putih, hidung mancung, alis rapih, dan sebagainya, sehingga setiap wanita yang ingin tampil cantik maka ia harus memiliki kulit putih, hidung mancung, dan sebagainya.
Hal ini pun terjadi pada diri lelaki tersebut dimana media berhasil menciptakan realitas dimana lelaki tersebut akan mendapatkan perempuan yang diinginkan yang ia tidak dapatkan di dunia nyata yang sesungguhnya. Oleh karena itu media berhasil menciptakan tanda-tanda sebagai realitas yang baru yang lebih baik dari realitas yang sesungguhnya.
2.5. Politik Imogology
Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)
Dari uraian tentang pemikiran Baudrillard diatas maka dapat diperoloeh kesimpulan sebagai berikut
1. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, didalamnya citra atau penanda atau kode atas suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Zaman simulasi adalah jaman informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes dan cybernetics.
2. Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu fungsi tanda (sign function) dalam linguistik. Iklan atau reklame telah mengambil-alih tanggungjawab moral masyarakat dan telah menggantikan moralitas puritan dengan moralitas hedonistik yang mengacu hanya kepada kesenangan saja dan menjadikannya sebagai barometer dari hypercivilization.
3. Secara ontologis, komunikasi (khususnya komunikasi massa) merupakan upaya untuk mempengaruhi masa untuk mengikuti ritual-ritual ekonomi konsumtif. Secara epistemologis, proses komunikasi merupakan simulacra. Secara aksiologis, komunikasi massa dimaksudkan agar masyarakat mengikuti irama kepentingan ekonomis-politis kapitalisme, sehingga hubungan masyarakat dicitrakan dalam budaya massa.Sosiologi komunikasi

PENUTUP

            Dari sekian penjelasan yang cukup banyak dan juga luas, dapat kami simpulkan secara umum bahwa dimensi hiperealitas dan juga politik citra ini adalah sebagai bentuk gambaran yang dibuat atau dihasilkan oleh sebuah media massa untuk menarik seseorang. Tak jarang sebuah media selalu saja menerapkan hipereality ini sebagai arahan kepada penonton media-nya untuk menirukan suatu gambaran tersebut. Pada dasarnya hal itu belum tentu keberannya namun seolah olah di tampilkan sisi kebenaranya. Sedangkan politik citra yaitu sama halnya membuat suatu pencitraan yang baik terhadap “brend” atau merek yang di unggulkan Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi karena didalamnya tersebut sangat erat kaitanya dengan politik. contoh yang kerap ditemui yaitu politik parpol dan juga iklan-iklan yang ada dimedia.
            Mungkin itu saja yang dapat kami jelaskan dalam makalah ini, dikarenakan keterbatasan wawasan kami dan juga pemahaman yang masih kurang. Namun hal itu tidak menyurutkan kami untuk selalu belajar dan belajar yang lebih baik lagi. Dan kami juga mohon maaf jika makalah kami ini masih banyak kekurangan, salah kalimat maupun salah ketik, kami tidak lepas dari kesalahan, maka dari itu untuk membangun yang lebih baik lagi kedepanya harapan kami kritik dan saran kami anjurkan demi perbaikan kami. Terimakasih.. 


0 comments:

Posting Komentar